Menakar Keberhasilan Kerja KPU RI di Pemilu 2024

Kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 telah usai. KPU RI telah menetapkan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Begitu juga dengan tingkatan DPR RI, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.

Keberhasilan Pemilu 2024 ini tidak lepas dari peran semua pihak mulai dari KPU, pemerintah, aparat penegak hukum (APH), partai politik, ormas dan masyarakat tentunya.

Namun, setiap gelaran Pilpres dan pileg pasti menghasilkan problematika. Mulai dari pelaksanaan yang menimbulkan pro dan kontra. Hingga munculnya sengkata hasil pemilu yang melahirkan gugutan dari para pihak yang merasa dirugikan. Itu semua tidak lepas dari proses demokrasi dalam setiap gelaran Pilpres dan pileg.

KPU RI dalam hal ini sebagai pelaksana, tentunya telah memitigasi perihal yang akan muncul selama periode Pemilu 2024. Partai politik dan kandidat Capres serta Wapres sebagai peserta harus legowo menerima hasil. Proses demokrasi sejatinya ingin menghasilkan para pemimpin yang ingin membawa bangsa ini jauh lebih maju dari sebelumnya.

Menurut data KPU RI, partisipasi pemilih dalam Pilpres 2024 ini berjumlah 81,78 persen. Partisipasi pemilih dari suara sah berjumlah 164,3 juta dari 204,4 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan KPU RI. Data ini berdasarkan pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari saat rapat bersama Komisi II DPR, 25 Maret 2024 lalu.

Jika dibandingkan dengan Pilpres dan Pileg 2019, data partisipasi pemilih Pilpres dan Pileg 2024 mengalami penurunan. Partisipasi pemilih Pilpres dan Pileg 2019 berjumlah 81,97 persen atau yang tertinggi selama gelaran Pilpres dan Pileg sejak 2004.

Ada beberapa 5 faktor yang menentukan partisipas pemilih mengalami penuruan maupun kenaikan.
1. Disparitas Sosialisasi
Pertama, partisipasi pemilih rendah bisa disebabkan oleh karena rendahnya informasi dan pengetahuan seputar kepemiluan yang diterima masyarakat.

Situasi ini terjadi karena sosialisasi Pemilu yang kurang masif dilakukan. Sosialisasi tidak menyasar lapisan-lapisan masyarakat pemilih yang tersebar di berbagai Kawasan.

Faktor ini tidak bisa dianggap remeh karena semua pihak, terutama penyelenggara pemilu misalnya, merasa bahwa saat ini berbagai platform media sudah sangat banyak. Lalu semua berasumsi bahwa dengan demikian masyarakat akan mudah memperoleh informasi tanpa harus mendapatkan secara langsung sosialisasi dari penyelenggara.

BACA JUGA :  4 Cara Mengecek Pinjol Legal atau Ilegal

Faktanya tidaklah demikian. Asumsi itu hanya berlaku di lingkungan masyarakat urban dan pinggiran perkotaan yang memiliki kemudahan mengakses informasi. Sementara warga yang tinggal jauh di kawasan pegunungan, kampung dan desa yang jumlahnya tidak sedikit tentu tidak selalu mudah menerima informasi.

2. Aspek Teknis yang Tidak Memudahkan
Faktor kedua yang bisa membuat pemilih malas datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya adalah karena aspek-aspek yang bersifat teknis kepemiluan yang tidak memudahkan para pemilih.

Misalnya pemetaan dan pengaturan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilih yang didistribusikan ke dalam TPS-TPS yang terlalu jauh dan atau sulit dijangkau cenderung akan malas datang untuk menggunakan hak suaranya.

Kasus lain adalah pendistribusian pemilih dalam satu rumah namun terbagai menjadi beberapa TPS. Misalnya dalam satu rumah terdapat beberapa keluarga. Beberapa KK tersebut bisa mencoblos diberbagai TPS. Hal ini bisa terjadi karena proses pencocokan dan penelitian belum akurat, atau bisa saja karena saat proses pemutakhiran data yang cenderung terburu-buru tanpa melihat kondisi real lapangan.

Tentu hal ini tidak serta merta kesalahan KPU dalam memproses data. Hal ini tentunya perlu pengetahuan masyarakat untuk mengetahui tempat TPS berada. KPU telah menyediakan Cek DPT sebagai media untuk mengetahui keberadaan TPS. Jikalau berbeda maka masyarakat bisa melaporkan ke petugas seperti PPS, PPK maupun datang langsung ke KPU sesuai domisili.

3. Rendahnya Kesadaran Pemilu
Rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam suatu Pemilu juga bisa disebabkan oleh kesadaran bernegara, atau lebih tepatnya kesadaran politik elektoral yang rendah.

Tingkat pendidikan yang rendah, keluasan bersosialisasi atau interaksi sosial sebagai warga negara yang sempit, serta jarangnya memperoleh informasi dan partisipasi politik dalam kehidupan keseharian sebagai warga negara bisa menjadi pemicu rendahnya kesadaran bernegara ini.

Dalam konteks ini sebagian masyarakat masih melihat dan memahami Pemilu sebagai peristiwa biasa, rutinitas kenegaraan yang tidak akan berdampak apa pun pada kehidupan mereka.

BACA JUGA :  Ketua Dekranasda Hadirkan Sosok Sukses Didiet Maulana

Karena itu, datang atau tidak datang ke TPS, menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih dianggap biasa saja. Tidak akan memberikan dampak apa pun pada kehidupan mereka sebagai warga negara.

4. Dukungan Pemerintah Kurang Maksimal
Faktor keempat yang bisa menjadi penyebab tingkat partisipasi pemilih menjadi rendah adalah lemahnya komitmen dan dukungan pemerintah untuk menyukseskan Pemilu.

Dalam hal ini terutama struktur pemerintah di bawah yang paling dekat dengan pemilih, yakni Pemerintahan Kecamatan dan Pemerintahan Desa/Kelurahan beserta seluruh perangkatnya.

Dukungan dimaksud bisa berupa minimal fasilitas sarana dan prasarana serta komitmen dan sikap mendukung pelaksanaan Pemilu dalam bentuk misalnya sosialisasi dan ajakan kepada warga yang secara terus-menerus dan masif dilakukan.

5. Kekecewaan Rakyat
Faktor terakhir yang bisa membuat masyarakat pemilih malas, atau bahkan menolak datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Atau dengan kata lain mereka sadar memilih Golput dalam Pemilu karena dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah.

Mereka kecewa terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dianggapnya tidak berpihak pada rakyat. Kecewa terhadap program-program pembangunan yang katanya untuk rakyat, tapi baru akan dimulai saja sudah menyengsarakan rakyat.

KPU RI berhasil menyelenggarakan Pilpres dan Pileg 2024. Hal ini berdasarkan data dan fakta yang terjadi selama gelaran Pilpres dan Pileg 2024.

Jika membandingkan partisipasi pemilih memang ada penuruan sekitar 0,19 persen. Namun perbandingan itu masih kalah dengan keberhasilan yang didapatkan oleh KPU RI selaku penyelenggara.

Setidaknya ada empat faktor yang membuat KPU RI berhasil dalam gelaran Pilpres dan Pileg 2024.

Pertama, KPU berhasil menyelenggarakan Pilpres dan Pileg 2024 lebih kondusif dan suhu politik yang cenderung terkendali.

Coba lihat bagaimana Pilpres dan Pileg 2019 lalu. Ada sekitar 9 korban meninggal akibat kerusuhan akibat yang terjadi di daerah Slipi, Petamburan, dan Tanah Abang sekitar 21-22 Mei 2019 lalu.

Nyawa seorang manusia tentulah sangat berharga. Untuk itu KPU telah mengantisipasi hal ini dan tidak ingin tragedi ini terulang kembali di Tahun 2024.

Salah satu upaya yang dilakukan KPU diantaranya yakni dengan berkoordinasi dengan partai politik, tokoh agama dan aparat keamanan baik TNI dan Polri, aktivis dan masyarakat sipil.

BACA JUGA :  Peduli Sosial, Karang Taruna Lampung Bagikan Hasil Donasi ke Penderita Kanker Payudara

Anggota KPU RI, Mochammad Afifuddin menjelaskan KPU telah melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk mendengungkan salah satu visi utama, bahwa pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, bukan pemecah belah bangsa.

Kedua, KPU berhasil memitigasi tragedi meninggalnya ratusan KPPS yang terjadi pada Pilpres dan Pileg 2019 lalu. KPU menyiapkan anggaran untuk penyedian mesin fotocopi dan vitamin, hal ini untuk meringankan dan mempermudah tugas KPPS. Ketersedian mesin fotocopy yang berupa printer ini meringankan beban KPPS seperti menyalin berita acara dan lainnya.

Ketiga, KPU kabupaten kota bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat. Evaluasi yang dilakukan KPU bekerjasama dengan instansi terkait ini tepat sasaran. Hal ini sebagai langkah untuk mencegah apabila ada anggota KPPS yang membutuhkan pertolongan pertama.

Selain itu, KPU juga menyediakan anggaran untuk pembelian berupa vitamin agar selama pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara KPPS dalam kondisi fit. Kondisi inilah menjadikan KPU berhasil mengantisipasi jatuhnya korban akibat kelelahan selama menjalankan tugas sebagai KPPS.

Keempat, KPU RI menaikkan honor Ketua KPPS yang tahun sebelumnya hanya Rp 550 ribu menjadi Rp 1,2 juta, sedangkan anggota menjadi Rp1,1 juta dari sebelumnya hanya Rp 500 ribu. Tentu ini menjadi berita gembira, terutama bagi anggota KPPS yang telah berpengalaman.

Mereka akan merasakah beban kerja yang lebih ringan dan honor yang jauh lebih besar. Mungkin ini salah satu kondisi yang membuat orang berlomba-lomba ingin menjadi anggota KPPS. Bahkan selama perekrutan KPPS sempat viral di berbagai platform media sosial karena kerja sehari dibayar Rp 1 jutaan.

Sururi Abdillah, S.E

Comment